Bismillahirrahmaanirrahiim...
Adalah ia, Sa’ad bin Mu’adz, berwajah tampan
berseri, bertubuh gemuk gempal menjulang tinggi. Usia pengabdiannya
kepada Allah dan Rasul-Nya memang relatif singkat. Hanya enam tahun.
Terhitung sejak usia 31 tahun saat pertama kali ia berbaiat sepenuh
hati, hingga di usia ke 37 tahun ia menjemput syahid.
Meskipun
perjalanan baktinya begitu singkat, namun kontribusinya tak dapat
dibandingkan dengan kita yang telah Islam sejak lahir. Jauh sangat.
Disingkatnya
waktu yang ia miliki, ia memainkan berbagai peran penting dalam
menegakkan kalimat tauhid. Ketika dahsyatnya perang Badar, ia turut
serta ambil bagian. Di waktu perang Uhud berkecamuk, ia berdiri tegap di
dekat Rasul, berjuang dan bertahan hingga titik darah penghabisan.
Hingga datanglah perang Khandak yang menjadi wasilah bagi Sa’ad bin
Mu’adz untuk menemui syahidnya.
Ia syahid karena luka anak panah
yang menghujam nadi lengannya. Di tengah derita luka yang ia rasakan, ia
menyempatkan diri untuk berdoa, memohon kiranya musibah yang menimpa
dirinya saat itu, dapat menjadi sarana baginya untuk menjemput syahid di
jalanNya.
Pintanya terkabul. Makin hari, lukanya makin bertambah
parah. Hingga akhirnya, ia menemui syahid di pangkuan Sang Rasul yang
mulia.
Di akhir hayatnya, ia kembali menegaskan persaksiannya,
“Salam atasmu, Wahai Rasulullah… Ketahuilah bahwa aku mengakui bahwa
Anda adalah Rasulullah…”
Rasul memandang lekat pada wajah tampan Sa’ad bin Mu’adz seraya berkata, “Kebahagiaan bagimu, Wahai Abu Amr…”
Kisah
perjalanan heroik Sa’ad bin Mu’adz bermula kala intelektual muda
-Mush’ab bin Umair- tiba di Madinah dengan membawa misi profetik untuk
penduduk Madinah. Sa’ad yang saat itu masih jahil, bergegas berlari
menghampiri, hendak mengusir sang duta besar nabi. Ketika itu Mush’ab
tengah beretorika dan berdealektika di kediaman As’ad bin Zurarah,
sepupu Sa’ad. Ia mengajak penduduk Madinah untuk berbaiat pada Muhammad,
Rasul Allah.
Pada kesempatan itu, Sa’ad belum sempat mengambil
bagian dari majelis yang Mush’ab gelar. Untaian seruan untuk memeluk
Islam pun belum sempat disimak telinga dan dinalar oleh akalnya. Tapi
niat awalnya -untuk mengusir Mush’ab- dengan serta merta luluh lantak.
Yang ada ialah kelapangan hati untuk mengulurkan tangannya pada Mush’ab
untuk berbaiat. Ia bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali Allah dan Muhammad
adalah Utusan Allah.
Begitu indahnya pancaran iman Mush’ab bin
Umair. Hingga seorang Sa’ad bin Mu’adz dapat serta merta ber-revolusi
dan berafiliasi pada Allah dan Rasul-Nya. Dikatakan ber-revolusi, karena
drastis dan menyeluruhnya perubahan yang ditempuh oleh Sa’ad bin
Mu’adz. Ketika ia menyatakan diri berhijrah, maka ia harus menyuntik
mati segala bentuk kejahiliyahan yang melingkupi hidupnya selama ini. Ia
harus membunuhnya hingga ke akar-akarnya, dan menggantikannya dengan
akar ketauhidan.
Luar biasa. Hidayah memang hak prerogatif Allah,
tapi wasilah untuk memperolehnya terbuka lebar. Alangkah beruntungnya
jika kita dapat turut ambil bagian sebagai wasilah turunnya hidayah.
Dengan
media pancaran iman Mush’ab bin Umair, Allah bukakan hati Sa’ad bin
Mu’adz untuk berbaiat, lalu turut menjadi pejuang di jalan Allah. Hingga
akhirnya, ‘arasy pun bergetar menyambut sang mujahid
syahid… Subhanallah…
Home »
» Pancaran Iman Mush’ab, Hantarkan Sa’ad Menuju Syahid
Pancaran Iman Mush’ab, Hantarkan Sa’ad Menuju Syahid
Posted by Zaenal Arsy
Posted on 05.04
with No comments
0 komentar:
Posting Komentar